Thursday, April 6, 2023

Banjar Babung,Desa Gunaksa,sebuah desa penting di Klungkung sebagai pusat pertahanan jaman adu domba belanda.


Banjar Babung,desa gunaksa Merupakan salah satu  pusat pertahanan Klungkung. Banjar babung adalah salah satu banjar dari desa gunaksa yang terletak paling utara...hanya banjar ini yang berbatasan langsung dengan kabupaten karangasem. Nah dijaman kerajaan, saat adu domba belanda antar kerajaan dibali. Klungkung sebagai pusat kerajaan atau pemerintahan dibali menjadi penengah dari konflik antar kerajaan dibali. Wilayah klungkung yang kecil tentu tidak akan imbang jika tidak dipimpin oleh raja yang selain sakti juga berwibawa. Didukung juga pungawa dan prajurit pilihan. Diceritakan olek kakek nenek mimin turun temurun adalah, Puncaknya adalah disaat adu domba belanda hingga konflik  kerajaan karangasem dengan kerajaan badung. Klungkung yang merupakan kerajaan yang mesti dilewati mencoba menahan pasukan karangasem. Satu satunya daerah yang strategis untuk itu adalah kawasan desa gunaksa ini. Penduduk di daerah ini banyak yang mengungsi ke daerah sampalan ,banjar pakel dan sekitarnya jauh ke selatan. Daerah ini hampir Bah alias pungkat istilahnya jatuh atau kalah. Namun Raja klungkung mengirimkan pasukan khusus dengan beberapa pemimpin yang nyineb wangsa. Nyineb wangsa ini diperkirakan dari kalangan ksatrya bahkan dari kalangan keluarga kerajaan. (Kalau dijaman sekarang mungkin jadi Anggota Badan Intelijen Negara) kalau jaman dulu Intel kerajaan. Bahkan ada kepercayaan Para jeroan babung ada beberapa orang  yang merupakan utusan kerajaan badung yang nyineb wangsa ikut berperang membantu klungkung saat itu(masuk akal karena sejatinya karangasem mau menyerang badung karena badung membela mengwi saat itu).  Kata nyineb wangsa disini menandakan adalah keturunan sri naraya kresna kepakisan yang merupakan keluarga kerajaan. Sedangkan pasukan khususnya dari beberapa kalangan dari pasek,tutuan,hingga pulasari. Dan tentunya pasukan ini memiliki kemampuan/kesaktian diatas rata rata sehingga terkenal sebutan Totos babung. Sehingga Daerah yang akan kalah atau BAH jadi Buung atau Gak jadi kalah meski dengan jumlah yang sedikit. Sehingga daerah ini disebut Bahbuung sampai kini disebut Babung. catatan nyineb wangsa alias menghapus  jati diri...ini sengaja dilakukan buat menyamarkan identitas dari masyarakat maupun musuh.  Patita wangsa dan nyineb wangsa adalah dua cara penurunan kasta yang dialami oleh keturunan Sri Nararya Kresna Kepakisan di masa lalu. Ini dilakukan karena  hukuman atau titah raja. Disini lebih ke arah titah raja untuk menjaga wilayahnya. bisa jadi Orang yang nyineb wangsa adalah keturunan keluarga dari kerajaan. Dan memang terbukti, para pemimpin yang disebut Jeroan babung dijaman kerajaan banyak yang merupakan abdi punggawa kerajaan klungkung(turun temurun bahkan dipercaya banyak yang ikut puputan klungkung 1908). Ada juga beberapa mata air yang dipercaya memiliki khasiat tertentu dibabung,yang kini hanya tersisa bernama tirta pengancukan sedangkan dulu saat masa peperangan ada tirta yang medal di areal pura pura puseh dengan khasiat sesuai kepercayaan.
 Adapun bukti peninggalan masyarakat yang dulunya pindah dari daerah babung kini banyak berupa pura yang masih disungsung warga luar gunaksa. Misal pura manik aji,dalem keloping,pura gunung sari,pura bukit  pusungan,pura pande hingga pura dukuh. Begitulah salah satu dampak adu domba belanda untuk melemahkan kerajaan dibali disamping juga ulah pribumi mementingan kekuasaan  dengan segala cara. 

* Tambahan Adanya pura pande,menandakan didaerah ini juga dulunya pusat pembuatan senjata. Adanya pura dalem... menandakan disini dlu salah satu pusat pemukiman yang padat.bisa dibilang sangat penting.sampai daerah utara banjar ini disebut abian klungkung. Mungkin hanya diDesa Gunaksa punya 2 pura puseh. Perkiraan Pura puseh yang dibabung adalah pura dibuat khusus krajaan klungkung buat abdi dan pasukan khusus yang menetap disana,sedangkan pura puseh yang di daerah utara banjar tengah adalah pura desa Gunaksa yang sebenarnya.(lokasinya juga berada ditengah tengah jika di kalkulasi keutara sampai ujung abian klungkung ,utara br babung). Awalnya pura puseh babung diempon hanya oleh keluarga jeroan,namun untuk merasa saling memiliki dan kesetaraan kedudukan karena sudah nyineb wangsa bahkan juga berbaur keturunan akhirnya diempon bersama. . Demikian kurang lebih cerita turun temurun. Jika pembaca ada pengetahuan tambahan silahkan dikomen.

 Tambahan
Menurut sumber yang hampir kontemporer, Kakawin Nagarakretagama, Bali ditaklukkan oleh pasukan Majapahit pada tahun 1343. Dalam tradisi Jawa dan Bali di kemudian hari, penaklukan ini diceritakan kembali dalam berbagai versi. Babad Dalem, sebuah kronik dari abad ke-18, menceritakan bahwa Bali mengalami kekacauan setelah penaklukan Majapahit.[2] Untuk memperbaiki hal ini, Patih (menteri utama) Gajah Mada mengangkat bangsawan Jawa Sri Aji Kresna Kepakisan(Adalah awal keturunan Sri Nararya kresna kepakisan) sebagai penguasa di Bali. Sri Aji Kresna Kepakisan adalah cucu seorang Brahmana namun dirinya adalah anggota kasta Ksatria. Menurut legenda, Ibunya adalah makhluk spiritual, sebuah apsara. Kedua kakak laki-lakinya adalah pangeran bawaan dari Blambangan dan Pasuruan di Jawa.

Sri Aji Kresna Kepakisan mendirikan sebuah puri di Samprangan, Gianyar. Bersamanya terdapat sembilan aristokrat dari Jawa, yang menetap di sekitar puri dan membantu penguasa dalam pemerintahannya. Cucu lainnya, Arya Gajah Para, menetap di Gianyar di pantai utara. Namun, penduduk lama di desa dataran tinggi, Bali Aga, dengan keras menolak peraturan yang dibuat oleh para penguasa Jawa ini. Keengganan mereka tersebut hampir membuat raja kembali ke Jawa. Mendengar tentang masalah yang menimpa vasalnya, Gajah Mada mengirimkan keris, Ki Lobar, ke Samprangan. Dengan bantuannya, Sri Aji Kresna Kepakisan mengatasi semua perlawanan yang ada. Pada saat kematiannya, ia digantikan oleh anaknya Dalem Samprangan, tetapi kediaman pangeran tersebut memindahkan pusat pemerintahannya yang berada dalam jarak yang dekat dari Samprangan ke Gelgel di dekat pantai selatan.

Kisah penaklukan Majapahit terhadap Bali dan imigrasi orang Jawa ke pulau tersebut memiliki dampak yang sangat besar terhadap citra diri orang Bali. Cita-cita budaya Bali ditelusuri kembali ke model Jawa, dan Majapahit berdiri sebagai simbol kuat peradaban disana. Latar belakang sejarah pemerintahan Sri Aji Kresna Kepakisan di Bali bersifat kontroversial. Prasasti tembaga, yang konon tertanggal 1471, menyebutkan Ratu Pakisan dari Majapahit yang tampak seperti sosok yang sama. Hal tersebut akan menempatkannya lebih dari satu abad kemudian daripada penaklukan Majapahit, meskipun keaslian prasasti tersebut tetap harus diverifikasi.[4] Juga putra bungsunya Dalem Ketut, yang mendirikan istana Gelgel, seharusnya selamat dari jatuhnya Majapahit di Jawa (awal abad ke-16). Laporan tertua yang menyebutkan asal mula raja-raja Bali, sebuah teks geografis oleh Manuel Godinho de Erédia dari Portugis (tahun 1600), menegaskan bahwa raja-raja ini berasal dari penguasa Blambangan di Jawa Timur.[5]

Kepakisan asal katanya Pakis berarti Paku. Gelar Kepakisan diberikan kepada Brahmana yang ditugasi sebagai Raja (Dalem) atau Kesatria. Gelar Kepakisan yang diberikan kepada Kesatria adalah: Sira-Arya Kepakisan. Beliau adalah keturunan Sri Jayasabha, berasal dari keturunan Maha Raja Airlangga, Raja Kahuripan (Jawa). Gelar Paku di Jawa pertama kali digunakan oleh Susuhunan Kartasura: Paku Buwono I pada tahun 1706 M.

diceritakan Mpu Wira Dharma berputra tiga orang yaitu: Mpu Lampita, Mpu Adnyana, Mpu Pastika. Selanjutnya Mpu Pastika berputra dua orang yaitu: Mpu Kuturan berasrama di Lemah Tulis dan Mpu Beradah pergi ke Daha serta menjadi pendeta kerajaan (bhagawanta) dari Raja Airlangga dan dikaitkan dengan cerita Calonarang yang amat terkenal di Bali. Kemudian Mpu Beradah berputra seorang yang bernama Mpu Bahula yang kemudian kawin dengan Ratnamanggali. Dari perkawinan ini lahirlah beberapa putra: Mpu Panawasikan, Mpu Asmaranatha, Mpu Kepakisan dan Mpu Sidimantra. Akhirnya Mpu Panawasikan berputra: Mpu Angsoka, Mpu Nirartha. Mpu Kepakisan yang berputra empat orang yaitu: tiga putra dan seorang putri. Putra yang bungsu Mpu Kresna Kepakisan diangkat menjadi raja di Bali.

Dengan demikian Sri Kresna Kepakisan yang menjadi Raja di Bali adalah dari keturunan Brahmana yang kebangsawanannya diubah menjadi kesatrya atau dari Danghyang/ Mpu menjadi Sri.

Dalem Ketut kemudian bergelar Dalem Sri Kresna Kepakisan, mulai memimpin Pemerintahan Kerajaan Bali Dwipa pada tahun 1350 M atau 1272 isaka. Oleh penduduk Bali beliau disebut sebagai I Dewa Wawu Rawuh atau Dalem Tegal Besung. Dalam Perjalanannya dari Majapahit ke Pulau Bali rombongan dari majapahit mendarat di pantai Lebih, kemudian ke arah timur laut menuju Samprangan

Dalam pemerintahannya Dalem Sri Kresna Kepakisan didampingi oleh Arya Kepakisan/ Sri Nararya Kresna Kepakisan yang menjabat sebagai Patih Agung berasal dari Dinasti Warmadewa yang merupakan keturunan Raja atau Kesatrya Kediri. Sehingga baik Adipati maupun Patih Agungnya berasal dari satu desa yaitu desa Pakis di Jawa Timur sehingga setibanya beliau di Bali menggunakan nama yang hamper sama yaitu Adipatinya bergelar Sri Dalem Kresna Kepakisansedangkan patih agungnya bergelar Arya Kepakisan atau Sri Nararya Kresna Kepakisan

Dalam pemerintahannya dalem didampingi oleh Ki Patih Wulung yang menjabat sebagai Mangku Bumi. Ibu kota Kerajaan dipindahkan dari Gelgel ke Samprangan (Samplangan). Dipilihnya Daerah Samprangan karena ketika ekspedisi Gajah Mada, desa Samprangan mempunyai arti historis, yaitu sebagai perkemahan Gajah Mada serta tempat mengatur strategi untuk menyerang kerajaan Bedahulu. Dalam kenyataan menunjukkan bahwa jarak desa Bedahulu ke Samprangan hanya kurang lebih 5 km.

Dari Babad Dalem diketahui bahwa dalam menjalankan pemerintahan sebagai wakil dari Majapahit di Pulau Bali Dalem Sri Kresna Kepakisan dibekali dengan pakaian kebesaran kerajaan dan sebilah keris yang bernama Si Ganja Dungkul yang memberikan konsep kebudayaan yang memadukan kebudayaan Jawa dengan Bali, dan tanda-tanda kebesaran itu berfungsi sebagai symbol atau lambang kekuasaan yang sah.
Sampai disana dulu tentang sedikit silsilah sri aji kresna kepakisan. Kita balik bahas sedikit masih di desa gunaksa.

Desa Gunaksa 
Nah Banjar Babung adalah salah satu banjar di desa gunaksa. Sedangkan Desa Gunaksa yang merupakan salah satu Desa disamping Desa lainnya di Kecamatan Dawan, mempunyai sejarah tersendiri sebagaimana Desa-Desa lainnya di Daerah Propinsi Bali. Suatu wilayah Desa biasanya dinamai dengan sebuah nama yang ada hubungannya dengan kejadian-kejadian dan peristiwa tertentu didalam wilayah Desa tersebut. Biasanya kejadian dan peristiwa tercamtum dalam Babad dan Prasasti disamping pula cerita dari orang tua di Desa tersebut.

Letak Geografis

Desa Gunaksa yang merupakan salah satu Desa yang ada di Kecamatan  Dawan, terletak  + 3  Km dari Ibu Kota Kecamatan, serta berbatasan dengan :

- Sebelah Utara    :    Kabupaten Karangasem.

- Sebelah Timur    :    Desa Dawan Kaler, Dawan Klod, Kusamba.

- Sebelah Selatan :       Tangkas, Selat Badung.

- Sebelah Barat    :    Desa Sampalan Klod. Sampalan Tengah, dan Desa Sulang. 

2. Luas Wilayah

Desa Gunaksa memiliki luas wilayah 683,006 Ha, yang terdiri dari 1 Desa Dinas dan 1 Desa Adat/ Pakraman Gunaksa dan dio Dukung  7 Dusun/Banjar yaitu :

    1. Dusun Babung

    2. Dusun Bandung

    3. Dusun Tengah

    4. Dusun Nyamping

    5. Dusun Kebon

    6. Dusun Patus

    7. Dusun Buayang


         Sejarah Desa Gunaksa menurut Prasasti Tutuan Bukit Buluh oleh kerajaan Tutuan dari kerajaan Keling di Jawa datang ke Bali mendirikan pemukiman disekitar dataran bebukitan yang akhirnya mencari daerah dasar sesuai dengan keperluan dari penduduk yang makin berkembang. Sampailah para Leluhur yang mendirikan Desa ini di suatu wilayah yang diberi nama Banjar Belimbing, yang sekarang bernama Banjar Patus atau nama lain wilayah tersebut bernama wilayah Dauh Bingin. Karena dibagian timur wilayah tersebut terdapat pohon beringin yaitu diwilayah atau komplek SD no. 3 Gunaksa. Pohon beringin tersebut tumbang tahun 1952, saat mendirikan sekolah rakyat Gunaksa yang terlanda lahar akibat bencana nasional meletusnya Gunung Agung di tahun 1963.

Pada saat para leluhur yang membuat atau membangun pemukiman di Banjar Belimbing beliau membuat suatu pelinggih sebagaimana yang diajarkan oleh ajaran Hindu bahwa setiap pemukiman harus ada 
 1. Pelinggih sebagai tanda taqwa kepada Tuhan yang Maha Esa/ Ida Yahng Widi Wasa.

   2. Batas wilayah dikenal dengan nama Palemahan.

   3. Penghuni adalah Pawongannya.

     Guna memenuhi persyaratan dimaksud lalu didirikan sebuah tempat ibadah yang diberi nama Pura Pewalang Tamah atau Guna Ksaya. Guna berarti segala jenis ilmu hitam, Ksaya berarti dilenyapkan. Jadi tujuan Pura Pewalang Tamak atau Guna Ksaya adalah sebagai pelindung masyarakat Banjar Belimbing dalam melenyapkan segala gangguan ilmu hitam. Penduduk berkembang akhirnya banyak berkembang. Jadi untuk memberi nama Desa atau wilayah pemukiman diberi sesuai nama pelinggih yang pertama yaitu Guna Ksaya yang lahirnya menjadi nama Desa Gunaksa.

Pura Bukit Buluh.
Nah didesa Gunaksa juga padat dengan nilai budaya diklungkung. 
Sejarah Tutuan berdasarkan Prasasti Tutuan yang tersimpan di Pura Bukit Buluh Gunaksa Klungkung tersurat pernyataan sebagai berikut. Disebutkan perjalanan sejarah seorang Maha Rsi yang bernama Maha Rsi Segening (Empu Keling) yang mendaaptkan Moksah di Gunung Tohlangkir,yang kemudian dikenal bernama Gunung Agung. Empu Keling adalah Putra Empu Siwa Gandhu, dan Empu Siwa Gandhu adalah salah seorang Putra dari Empu Beradah. Empu Keling berputra yang bernama Dalem Mangori. Dalam pejalanan hidup beliau (Dalem Mangori) adalah seorang Penguasa Wilayah Keling di Jawa Dwipa. Di Jawa Dwipa Dalem Mangori menikahi seorang Ratu Dari kerajaan Kalingga yang bernama Dyah Mpu Wati (cucu dari Mpu Galuh alias Ratu Sima). Dari pernikahan beliau menurunkan Ratu Mangori yang kemudian menurunkan Arya Kanuruhan sekretaris Raja Gelgel. Arya Kanuruhan berputra tiga orang yaitu Pangeran Tangkas,Arya Brang Singa dan Arya Pegatepan. Dalem Mangori dikenal sebagai seorang Dalem yang suka berburu ketengah hutan Keling. Suatu hari dalam perburuannya, beliau bertemu seorang gadis kecil di bawah sebuah pohon pisang yang berparas sangat cantik. Anak gadis itu dipungut dan dibawa ke kerajaan dan diberi nama Brit Kuning. Brit Kuning kemudian diketahui adalah seorang putri kerajaan Airlangga ,dan setelah menginjak dewasa Brit Kuning dinikahi Dalem sebagai istri penawing di kerajaan dan berputra laki - laki yang di beri nama Mantri Anom. Mantri Anom kemudian diangakt putra oleh Dyah Mpu Wati (diadopsi) bergelar Satrya Wangsa. Berselang kurun waktu tertentu Brit Kuningpun melahirkan putranya yang kedua. Entah karena salah paham bagaimana,Brit Kuning membunuh putranya untuk dijadikan santapan Dalem Mangori. Mengetahui keadaan demikian betapa marahnya Dalem terhadap Brit Kuning,serta mengusirnya dari kerajaan dan diasingkan ke tengah hutan Keling. Dalam keadaan yang sedang marah begitulah runtuh sabda Dalem Mangori terhadap putranya,"Wahai Anakku,semoga engkau cepat manumitis dan menjelmalah engkau sebagai manusia yang bisa menghilang, lahirlah sebagai seorang gembala dengan nama "Rare Angon". Waktu terus berlalu Satria Wangsapun kini memasuki usia dewasa.bertanyalah dia tentang keberadaan ibu kandung yang melahirkannya. Dalem tak kuasa untuk menyembunyikan keadaan yang sebenarnya,dan dikatakanlah bahwa ibu kandungnya telah diusir dan diasingkan ke tengah hutan Keling karena kesalahannya telah membunuh adik kandung Satria Wangsa ketika masih bayi. Seketika itu muncul di dalam keinginan Satri Wangsa untuk bertemu ibunya seraya minta ijin dari Dalem Mangori. Dalem mengabulkan niat Stria Wangsa untuk bertemu ibu kandungnya dengan suatu pesan yang tidak boleh dilanggar oleh Satria Wangsa bahwa tidak diperkenankan untuk menyembah ibunya karena secara status ibunya telah dikeluarkan dari status kerajaan akibat kesalahannya telah membunuh putranya sendiri. Satria Wangsa segera beranjak menuju hutan Keling dengan diiringi oleh pasukan kerajaan dan pengawal. Ketika berada di tengah hutan dan bertemu ibunya Satria Wangsa merasa tidak tega untuk tidak menyembah sang ibu yang melahirkannya,kendatipun telah diperingatkan ayahandanya. Brit Kuningpun menolak untuk disembah karena telah mengetahui posisi dirinya dan status anaknya sebagai seorang putra Dalem. 
Brit Kuning berlari dan bersembunyi di balik tembob biliknya. Satria Wangsa tetap menyembahnya,sehingga keanehan terjadi dan terbelahlah bangunan bilik itu menjadi dua sehingga ada ceritra tentang bale pegat sejak saat itu yang kemudian dikenal di Bali. Brit Kuning tak henti berlari menghindari untuk disembah Putranya hingga akhirnya dia terperosot kedalam sebuah sumur di belakang rumahnya dan terjatuh. Mengetahui hal itu terjadi Satria Wangsa segera berlari dan mengejar hendak menolong,tapi tak bisa.Ibunya telah terjatuh kedalam sumur itu dan keanehan terjadi lagi. Dari dalam sumur seketika tumbuh pohon Timbul dan di puncak hinggap seekor burung tuu-tuu. Ketiaka itulah Satria Wangsa bersumaph untuk tidak memakan buah timbul dan tidak menyakiti burung tut-tuu hingga seketurunannya.Bahkan tidak juga boleh meminum air sumur. Setelah semuanya terjadi,kini Satria Wangsa bertolak ke istana dan bertemu ayahandanya serta menceritrakan kejadian di tengah hutan itu kepada ayahnya Dalem Mangori. Mendengar ceritra Satria Wangsa,Dalem Mangori marah dan serta merta mengusir Satria Wangsa dari istana Kalingga serta mencopot gelar yang disandangnya sebagai seorang putra kerajaan karena telah berani melanggar larangan Dalem. Satria Wangsapun pergi dan menuju kerajaan Airlangga untuk bertemu kakeknya Prabu Airlanga. Di kerajaan itu Satria Wangsa menceritakan hal yang terjadi kepada Sang Prabu Airlangga dan akhirnya menyarankan Satria Wangsa datang ke Bali untuk bertemu Dalem Tegal Belesung,dengan menyandang gelar baru yaitu "Mantri Tutuan". Mantri Tutuan diterima Dalem Tegal Belesung,dan menetap di Bukit Buluh Gunaksa, Klungkung,Bali,yang selanjutnya menjadi pusat dari keturunan KI Mantri Tutuan. Hal ihwal tentang status kehidupan Ki Mantri Tutuan tersuratkan pula di dalam Piagem yang dianugrahkan oleh Dalem Tegal Belesung kepada Ki Mantri Tutuan yang berisikan tenatng kewenagan KI Mantri Tutuan dan seketurunannya.

Rareangon
Tradisi Jaga jaga tak bisa dilepaskan dari kisah Rareangon di gunaksa. Tradisi ini dilakukan tak hanya sebagai prosesi upacara semata, namun menjadi penebusan sebuah kesalahan perilaku leluhur dahulu.

      “Tradisi ini berawal dari adanya ambeng-ambengan jagat, yaitu berupa dua ekor sapi. Satu sapi merah dan satu sapi hitam yang digembalakan oleh pengembala yang bernama I Rare Angon. Nah, Desa Gunaksa ini dulunya adalah suatu desa purba yang mana penduduknya dominan bermata pencaharian agraris. Sehingga untuk menjaga daerah Gunaksa ini, penduduk pun menggunakan sapi dalam membajak sawahnya. Termasuk juga bisa menggunakan dua sapi ambeng-ambengan jagat.

Hebatnya, setiap kali membajak menggunakan sapi itu, sawah menjadi lebih subur dan selalu menghasilkan hasil cocok tanam yang melimpah ruah. Sehingga semakin banyak penduduk yang membutuhkan sapi itu, sayangnya, ada seorang penduduk yang selalu tidak mendapat giliran mengembalakan sapi itu di sawahnya.

      “Suatu hari ada seorang penduduk, yang kebetulan anak Jero Mangku Dauh Bingin yang bernama I Surakerta. Ia ingin meminjam sapi si Rare Angon, namun selalu saja tidak kebagian karena keterlambatan. Akhirnya keluar sifat tamah dan momonya Surakerta yang ingin memiliki semua sapi itu. Disaat itulah akhirnya ia melakukan meparikosa terhadap I Rare Angon. Alhasil, tindakan itu nihil. Hingga muncul keinginan untuk membunuh I Rare Angon dan merampas sapinya. Namun, keinginannya itu pun juga tak tercapai. Akhirnya kedua sapi itu lari. Sapi merah lari ke desa dan satu lagi lari ke Pura Dalem.

    “Kejadian yang lumayan memakan waktu ini akhirnya menyebabkan semua kelelahan. I Surakerta akhirnya lelah, I Rare Angon juga payah dan sapinya pun ngepah. Nah, di sanalah I Rare Angon mengeluarkan bhisama Wahai engkau penduduk Gunaksa, karena kesalahanmu terlalu besar dan meparikosa hingga ingin membunuhku. Maka, sapi-sapi ini akan hilang pada hari ini, termasuk juga saya. Apabila nanti kau meninggal dan telah dilakukan proses pitra yadnya wajib hukumnya naur sor (membayar) atas perilakumu. Sejak saat itulah, untuk menebus bhisama Rare Angon penduduk Desa Gunaksa menggelar tradisi Jaga-jaga berupa mengorbankan seekor sapi merah atau sapi cula setiap tahunnya. Tepat pada Tilem kedasa atau tanggal apisan sasih jiestya ngusaba pitra, tradisi ini wajib untuk dilaksanakan. Dilaksanakannya tradisi ini pun bertepatan dengan ngusaba desa yang akan dilakukan tiga hari setelah Jaga-jaga.

Sebelum sapi siap diarak, sapi ini akan mendapatkan perlakuan khusus. Mulai dari dirias dengan mengenakan kain, dikalungkan uang kepeng, hingga dilakukan upacara otonan untuk sapi tersebut yakni dengan menggelangkan benang keempat kakinya yang sudah berisi sepasang uang kepeng. Persiapan ini pun tak sembarang tempat, segala prosesi persiapan dilakukan di Pura Dalem Pakenca. Sebelum berangkat ke Pura Puseh, sapi ini akan dilukai badannya hingga mengeluarkan darah.

      Ketika sapi sudah siap, maka krama bersiaga untuk mengarak sapi menuju Pura Puseh. Bahkan ketika  pelaksanaan tradisi ini sangat jelas terlihat, karena biasanya anak-anak kecil akan riuh berdatangan lebih awal untuk bisa menyaksikan sapi yang diarak ini. Ya, gelak tawa dan injakan kaki yang lari megrudugan seakan menjadi tanda bahwa sapi segera datang.

      Hal ini pun seakan menjadi pengenal untuk warga pemiliki rumah di pinggir jalan yang akan dilalui sapi Jaga-jaga untuk mempersiapkan sepasang canang, lengkap dengan segehan beserta api takep. Sesajen ini akan dihaturkan ketika sapi datang dari Pura Puseh. Bukan tanpa arti, Jero Mangku Alit menuturkan sesajen yang dihaturkan ini merupakan kepercayaan masyarakat memberikan suguhan untuk menyambut butha kala yang mengiringi di belakang sapi ini.

       Jika prosesi di Pura Puseh telah usai, sapi ini selanjutnya diarak menuju Pura Buit dengan dicambuk sepanjang perjalanan. Hal ini dilakukan agar darah sapi menetes sepanjang perjalanan yang dilalui. Jero Mangku Alit menuturkan hal seperti ini diyakini sebagai ruwatan bumi agar pertiwi memberikan keselamatan. Di penghujung tradisi Jaga-jaga ini, sapi selanjutnya digorok di Pura Buit. Nantinya kepala sapi akan dihaturkan ke pelinggih dan badannya akan dikubur tepat di depan pelinggih. Sampai pada tahap itu, usai sudah prosesi tradisi Jaga-jaga.

Tulisan dari berbagai sumber. Jika ada koreksi ,silahkan dikomen. Terimakasih

No comments:

Post a Comment